Radiobintangtenggara.com, BANYUWANGI – Sejumlah wartawan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember, turun ke jalan dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia, Senin (1/5).
Mereka melakukan longmarch mulai dari Jalan Agus Salim sebelah Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi menuju ke sejumlah titik penting di Banyuwangi. Diantaranya di depan Kantor Bupati dan Gedung DPRD Banyuwangi.
Dalam peringatan hari buruh tahun ini, AJI Jember menilai landskap industri media berubah dengan cepat dari konvensional menuju digital. Perubahan ini membawa banyak konsekuensi terhadap pekerja media termasuk jurnalis. Sayangnya perubahan cara dan resiko kerja ini tak linier dengan kesejahteraan.
Perubahan yang banyak berdampak adalah trend konvergensi media sejak tahun 2004. Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan, berbasis digital. Konvergensi memberikan dampak bahwa kerja jurnalis dituntut multitasking (berita cetak, online, fotografi dan video). Akibatnya jurnalis mengeluarkan beban waktu dan tenaga lebih besar.
Namun jurnalis tetap tidak menerima kesejahteraan dasarnya seperti asuransi kesehatan, upah layak, jam kerja delapan jam dan status sebagai karyawan setelah bekerja selama tiga tahun.
Koordinator Divisi Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember, Hermawan Arifianto mengatakan, berdasarkan mini Ssrvei yang dibuat AJI Jember pada September 2016 terhadap 17 jurnalis se-Jawa Timur, menunjukkan 53 persen jurnalis masih berstatus kontrak meski telah bekerja lebih dari tiga tahun. Dan 59 persen jurnalis tidak memiliki asuransi kesehatan dan keselamatan kerja.
Menurut Hermawan, di wilayah AJI Jember (Jember, Banyuwangi, Bondowoso) pada mini survei tahun 2015 menunjukkan, 33 persen jurnalis media nasional masih berstatus kontrak dan tak memiliki perjanjian kerja. Sebanyak 39 persen jurnalis media lokal memperoleh upah di bawah UMK dengan nilai Rp 500 ribu – Rp 1 juta perbulan. Sementara 44 persen jurnalis media nasional dan lokal tidak memiliki asuransi kesehatan dan keselamatan kerja dari perusahaannya.
“Hasil mini survei di atas menunjukkan perusahaan media banyak melanggar UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Minimnya kesejahteraan yang diterima jurnalis semakin membuat posisinya rentan karena sebagian besar belum bergabung ke serikat pekerja,” ungkap Hermawan disela orasi di depan Kantor Bupati Banyuwangi.
Padahal, kata dia, tren digitalisasi diikuti dengan meredupnya sejumlah media konvensional yang diikuti pemutusan hubungan kerja terhadap jurnalis. Seperti yang dialami jurnalis Harian Semarang, Cakra TV, Bloomberg TV, dan PHK terhadap belasan jurnalis Indonesia Finance Today.
Lebih lanjut Hermawan mengatakan, pada 2017 tiga jurnalis Majalah Gatra yang telah bekerja selama 3 tahun di-PHK. Kasus yang sama menimpa 7 jurnalis INews TV. PHK tersebut juga dialami ketua Serikat Karyawan INews Bersatu (SKIB) Iman Lesmana yang diindikasikan kuat sebagai upaya pemberangusan terhadap serikat pekerja di dalam perusahaan PT Sun Televisi Network.
“Ke depannya digitalisasi bisa berdampak lebih serius mengurangi lapangan kerja jurnalis. Di Amerika Serikat saat ini sudah ada robot yang menulis berita lebih dari satu miliar. Di Jepang sudah ada robot pembawa berita, bahkan ada etika jurnalisme robot,” jelasnya.
Hermawan menilai, tidak ada cara lain bagi pekerja media memperjuangkan hak hak kesejahteraannya kecuali melalui serikat pekerja. Data terakhir yang dihimpun dari riset AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) hanya ada 25 serikat pekerja media yang bisa diidentifikasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbilang sangat minim, hanya sekitar satu persen dari jumlah media berdasarkan data dewan pers.
Padahal Serikat Pekerja sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Sebab melalui serikat pekerjalah, jurnalis punya posisi tawar dalam setiap negosiasi atau sedang menghadapi kasus ketenagakerjaan. Pendirian serikat pekerja juga dapat diwujudkan dengan cara bersindikat dengan media yang lain (serikat pekerja lintas media), sebagai alternatif jika resistensi perusahaan sangat kuat.
Oleh karena itu AJI Jember meminta beberapa tuntutan kepada pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan Kementerian Tenaga Kerja untuk meningkatkan pengawasannya dan memberikan sanksi pada perusahaan media yang melanggar UU Ketenagakerjaan. Selain itu AJI meminta kepada seluruh perusahaan media untuk memenuhi kewajiban menyejahterakan pekerja media sesuai UU Ketenagakerjaan dan kepada jurnalis serta seluruh pekerja media agar membentuk serikat di dalam perusahaan maupun bergabung dalam serikat pekerja lintas media.
Rizki Restiawan