Marsinah. ©2016 Merdeka.com

Hari Buruh di Indonesia Tak Lepas Dari Sosok Marsinah, Siapa Dia?

Radiobintangtenggara.com, BANYUWANGI – Hari Buruh Internasional atau May Day yang diperingati setiap tanggal 01 Mei, seringkali diwarnai dengan aksi demonstrasi. Mereka menuntut hak dan kewajiban yang diberikan kepada para karyawan, baik ke perusahaan maupun tuntutan kepada pemerintah.

Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Di Indonesia peringatan Hari Buruh tidak hanya diwarnai dengan tuntutan hak dan kewajiban dari perusahaan atau mengenai tanggung jawab pemerintah saja, namun juga identik dengan tuntutan keadilan.

Sebut saja Marsinah, seorang aktivis perempuan asal Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk yang sekaligus buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, yang diculik dan kemudian ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari.

Sosok perempuan pejuang keadilan yang bercita-cita kuliah di Fakultas Hukum ini sudah 24 tahun kasus kematiannya masih meninggalkan misteri.

Hasil otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya pada waktu itu menyimpulkan bahwa Marsinah tewas karena penganiayaan berat.

Marsinah tercatat sebagai buruh di PT  Catur Putra Surya (PT CPS) di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, pada tahun 1990. Gajinya yang jauh dari cukup, membuatnya harus banting tulang. Bahkan di luar jam kerja ia berjualan nasi di sekitar pabrik.

Dia dikenal sebagai buruh yang kritis. Hingga ia bersama teman-temannya menuntut dibentuknya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.

Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh Marsinah dan karyawan lain, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah.

Dok Liputan6.com
Dok Liputan6.com

Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk sepakat melakukan unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Tak terima dengan sikap buruh, perusahaan lalu memanggil  para buruh yang melakukan aksi unjuk rasa. Sebanyak 13 buruh pada tanggal 5 Mei 1993 dipanggil, tanpa Marsinah.

Ke 13 buruh tersebut oleh Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh mengadakan rapat gelap dan memprovokasi buruh di perusahaan itu untuk mogok kerja.

Mengetahui teman seperjuangannya ditangkap aparat,  di hari yang sama Marsinah mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan teman-temannya.

Namun setelah itu, sekitar pukul 22.00 WIB, Marsinah lenyap entah kemana. Tercatat mulai tanggal 6,7,8 Mei 1993 keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya. Hingga akhirnya ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan pada tanggal 8 Mei 1993.

Spekulasi pun muncul di kalangan masyarakat.  Mereka menuduh bahwa kasus kematian Marsinah sarat dengan  rekayasa. Kasus kematian Marsinah ini bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut kasus Marsinah sebagai “Kasus 1713”.

Selanjutnya, tanggal 30 September 1993 dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya.

Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.

Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Kasus kematian Pahlawan Buruh Indonesia ini  sudah 24 tahun  berlalu, namun hingga tahun 2017 ini sulit sekali untuk mengungkap kasusnya.

Sejak kepemimpinan Presiden RI ke 4 Abdurrahman Wahid dan Presiden RI ke 5 Megawati Soekarnoputri juga telah mengupayakan untuk membuka ulang kasus ini. Namun pengungkapan kasus kematian Marsinah tetaplah nihil dan menyisakan misteri.

18157993_1389048957828216_6074251020729028584_nDi Kabupaten Banyuwangi sendiri, peringatan Hari Buruh Internasional dilakukan dengan aksi unjuk rasa gabungan antar sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Serbumusi) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI ) Jember.

Puluhan masa melakukan long march dari Universitas 17 Agustus 1945 menuju beberapa titik di kota Banyuwangi, termasuk di depan Kantor Bupati dan Gedung DPRD Banyuwangi

Koordinator Divisi Ketenagakerjaan pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember, Hermawan Arifianto mengatakan, aksi gabungan ini menuntut upah layak terhadap buruh dan jurnalis serta menghapus sistem outsourcing atau karyawan kontrak.

Pemerintah Banyuwangi, kata Hermawan diminta memperhatikan kaum buruh termasuk jurnalis, dengan menindak tegas perusahaan yang ada di Banyuwangi yang tidak memperhatikan gaji pekerjanya.

Rizki Restiawan

About Rizki Restiawan

Check Also

KAI Daop 9 Jember ‘Jangan Berada di Jalur kereta api, Berbahaya!’

BINTANG TENGGARA – Pada pukul 03.40 WIB masinis kereta api Wijayakusuma relasi Cilacap – Jember …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *