wisatawan bule

Bule Pendukung BEC, Nikmati Wisata di Tiga Lokasi Sehari Sebelum BEC Digelar

Radiobintangtenggara.com, BANYUWANGI – Gelaran Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2018 pada Minggu (29/7), dimeriahkan oleh deretan bule dari 21 negara. Mulai dari Mesir, Rwanda, Uganda, Sudan, Gambia, Turkmenistan, Tajikistan, Nepal, Rusia, Thailand, Benin,  Nigeria, Malagasy, Tanzania, Hungaria, Palestina, Ethiopia, Australia,  Jerman, Kolombia hingga Ukraina

Mereka yang total berjumlah 35 orang tak melewatkan kesempatannya berada di Banyuwangi hanya untuk mengikuti karnaval budaya tersebut. Tapi juga mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di Banyuwangi.

Seperti destinasi De Djawatan yang merupakan lokasi tumbuhnya pepohonan besar yang indah, mirip seperti di film Lord of the Ring.  Selain itu mereka juga berkunjung ke Kampung Primitif yang terletak di Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Serta menikmati keindahan suasana sore di Pantai Pulau Merah.

Di hutan De Djawatan yang berada di Benculuk, Banyuwangi, mereka memuaskan diri untuk berfoto dengan latar pohon trembesi tua. Pohon trembesi tersebut usianya mencapai 100 tahun. Dahulu, tempat ini merupakan tempat penimbunan kayu jati. Kini, lahan seluas 6 hektar ini disulap tiap sudutnya menjadi arena selfie yang   sangat menarik.

Di sini  mereka berfoto di jembatan kayu, menaiki  bangunan semacam menara pandang dari kayu, bahkan ada yang memanjat pohon dengan tali yang memang sengaja digantungkan di pohon oleh pengelola hutan ini.

Gibriel Badjie, salah satu peserta asal Gambian terlihat sangat bersemangat menaiki pohon berukuran besar tersebut. “Saya suka disini. Pemandangannya asyik, sejuk dan rindang,” tutur Gibriel sambil kemudian memanjat pohon tersebut. Aksi  pria yang beristrikan wanita asal Semarang ini pun diikuti beberapa kawannya yang lain. Setelah sukses berpindah ke dahan pohon tersebut dengan tali, mereka meminta rekannya untuk memotret aksinya di atas pohon.

Puas berfoto di De Djawatan, mereka melanjutkan perjalanan ke Kampoeng Primitif. Kampoeng Primitif yang terletak di Dusun Krajan, Desa Purwodadi, Kecamatan Gambiran itu merupakan destinasi wisata yang muncul dari ide masyarakat setempat yang ingin menjadikan kampungnya sebagai alternatif wisata baru. Mereka mengembangkan potensi alam yang mereka punya. Mereka menjadikan kampungnya selayaknya taman di masa purba.

Terdapat sejumlah rumah berbentuk bulat dengan dinding kayu yang beratapkan jerami. Semakin masuk ke dalam, pengunjung juga bisa menemui aktivitas warga yang memasak dengan kayu. Uniknya, semua penghuni kampung tersebut juga berdandan layaknya orang primitif.

Mereka mengenakan baju ala suku pedalaman di Kalimantan dan melukis wajahnya dengan cat khusus. Beberapa aksesoris ditambahkan sebagai aksen seperti penutup kepala, koteka dan alat berburu dari kayu.

Di sini mereka pun menikmati makan siang yang dihidangkan berupa sayur lompong yang terbuat dari batang talas, sayur tewel, tumis pakis, ayam bumbu sambal hijau dan ayam bakar. Teh, kopi jahe, jeruk, buah naga dan snack dari ubi jalar dan kacang rebus semakin melengkapi makan siang mereka. Semua terlihat sangat menikmati makan siangnya, apalagi mereka makan sambil dihibur musik di panggung mini yang dibuat secara natural dan menyatu dengan alam.

“Mereka keren sekali…Pandai memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusianya,” kata Natalia Sokolovskaia yang tak henti mengambil gambar. Perhatiannya banyak tertumpah pada anak-anak kecil dengan wajah yang digambari seperti suku primitif. Di sudut lainnya, tampak Izatullo Kurbonov asal Tajikistan, Anne Reina asal Jerman dan Rajesh Kumar asal Nepal yang terpesona dengan rasa segar dan manis alami buah naga merah. Ketiganya yang menikmati buah naga dengan cara membelah dan memakannya dengan sendok sibuk mengomentari rasa di setiap suapan. “So amazing taste,” ujar Rajesh.

Perjalanan tak berhenti di situ. Mereka kemudian berlanjut ke Pulau Merah. Maksud hati ingin melihat sunset, namun karena cuaca mendung, mereka tak bisa melihat matahari terbenam. Namun mereka tak kecewa, sebab banyak shot foto yang tak kalah menarik. Mereka pun juga bermain volly pantai, frisbee (piring terbang) atau berjalan menyusuri sepanjang garis pantai.

Salah satunya Sanju Singh asal Nepal. Sanju mengaku tak banyak mengambil gambar. Sengaja, karena dia hanya ingin menikmati sore itu sambil mengenang masa lalunya.

“Saya pernah kemari 4 tahun yang lalu untuk bermain surfing. Ombak Pulau Merah bagus sekali untuk beginner surfer. Sayangnya sekarang saya sudah menghentikan aktivitas surfing saya lantaran hidung saya bermasalah jika terkena deburan ombak yang terlalu kencang. Jadi sekarang, saya ingin benar-benar menikmati pemandangan sore disini,” ujar Sanju yang tengah menempuh S3-nya di Universitas Airlangga Banyuwangi ini.

Trip sehari penuh itu kemudian ditutup dengan mengikuti gladi bersih BEC di Taman Blambangan Banyuwangi. Meski lelah karena menempuh perjalanan yang panjang, mereka sangat antusias dan bersemangat berlatih menari untuk persiapan tampil di stage BEC. Dengan diiringi musik khas Banyuwangi yang rancak, mereka berjalan sambil menari sesuai koreografi yang diajarkan.

“I believe, tomorrow is gonna be amazing experience for us (saya yakin, besok pasti akan jadi pengalaman yang paling menakjubkan bagi kita),” teriak Pawaniyada asal Thailand.

MUHAJIR EFENDI

About Fareh Hariyanto

Check Also

KAI Daop 9 Jember ‘Jangan Berada di Jalur kereta api, Berbahaya!’

BINTANG TENGGARA – Pada pukul 03.40 WIB masinis kereta api Wijayakusuma relasi Cilacap – Jember …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *